Festival Pesona Budaya Kutim 2025: Tradisi yang Dihidupkan Kembali di Bukit Pelangi

KEMBARA TIMUR – Lampu-lampu panggung menembus langit Sangatta yang mulai gelap ketika denting gambus pertama mengalun. Di Lapangan Helipad, Alun-alun Bukit Pelangi, warga Kutai Timur (Kutim) berdesakan mendekati arena. Festival Pesona Budaya Kutim 2025 resmi dibuka, sebuah perayaan tiga malam yang mempertemukan musik, tarian, cagar budaya, hingga denyut ekonomi kreatif dalam satu ruang yang ramai dan hangat.Sorak penonton menggema saat Wakil Bupati Kutim, Mahyunadi, naik ke panggung untuk membuka acara, Jumat malam, 21 November 2025. Di belakangnya, jajaran Forkopimda berdiri memberi dukungan. Mahyunadi tak menyebut festival itu sekadar panggung hiburan. Ia menegaskan bahwa keragaman etnis di Kutim, Kutai, Dayak, Banjar, Bugis, Jawa, Toraja, dan lainnya adalah modal budaya yang harus terus dirawat.
“Kutim adalah miniatur Indonesia. Keberagaman ini adalah kekuatan yang harus terus hidup,” ujarnya di hadapan ratusan pengunjung.
Nada yang sama disampaikan Padliansyah, Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kutim. Di awal sambutannya, ia menyebut festival ini sebagai “ruang pewarisan”, sebuah ruang di mana tradisi dihadirkan kembali agar tidak hanya menjadi cerita di kepala, tetapi pengalaman yang dirayakan bersama.
Dari panggung utama, tari Jepen, Tarsul, Kuda Lumping, dan musik etnik Kutai tampil bergantian. Hentakan kendang dan lengking gambus menutup rapat malam dari kebisingan luar. Anak-anak berlari sambil membawa lampu LED, remaja berkumpul di sudut-sudut panggung mencari sudut swafoto terbaik, sementara orang tua menyimak pertunjukan dengan wajah tenang, sebuah lanskap sosial yang memperlihatkan budaya sebagai ruang temu lintas generasi.
Di sisi lain, deretan stan UMKM menambah kehidupan festival. Makanan khas daerah, batik etnik, kerajinan tangan, hingga produk kreatif komunitas lokal dipajang serta menarik kerumunan. Mahyunadi berharap momentum ini menguatkan ekosistem ekonomi kreatif Kutim.
“Dari sini lahir peluang kerja, wisata budaya, dan jejaring pemasaran bagi UMKM,” katanya.
Festival juga menjadi wadah bagi Disdikbud memamerkan koleksi cagar budaya Kutim yang sebelumnya tersimpan di kantor dinas dan sekolah. Alat musik tradisi, benda sejarah, hingga material budaya masyarakat masa lampau ditampilkan sebagai bentuk edukasi publik. Menurut Padliansyah, langkah ini menjadi bagian dari persiapan menuju pendirian Museum Daerah Kutim dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
Selama tiga malam perayaan, Festival Pesona Budaya Kutim tidak hanya menghadirkan panggung seni, tetapi juga atmosfer yang memperlihatkan bagaimana tradisi bekerja: ia bukan arsip statis, melainkan sesuatu yang terus dipraktikkan. Di balik gemerlap cahaya dan sorak penonton, festival ini menegaskan kembali pesan utama: budaya tidak tumbuh dari yang disimpan, tetapi dari yang dihidupkan.(Adv)




