
KEMBARA TIMUR – “Ini bukan tontonan semata, tapi ruang pewarisan. Di sini tradisi direkam ulang dalam ingatan publik,” ujar Padliansyah, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutai Timur (kutim), membuka sambutannya pada Festival Budaya Kutim di Lapangan Terbuka Bukit Pelangi, Jumat malam (21/11/2025).
Pernyataan itu menjadi semacam tesis bagi gelaran yang berlangsung tiga malam berturut. Di atas panggung, Tari Jepen, Tarsul, Kuda Lumping, hingga musik etnik Kutai tampil silih berganti. Denting gambus dan hentakan kendang membentuk lanskap bunyi yang merangkum perayaan—ramah, meriah, sekaligus penuh makna.
Di sisi lain panggung, deretan stan UMKM ikut menyemarakkan suasana. Pengunjung memenuhi area kuliner, kerajinan tangan, batik etnik, hingga produk kreatif komunitas lokal. Festival ini bukan hanya panggung seni, tetapi juga ruang tumbuhnya ekosistem ekonomi budaya yang berakar pada komunitas setempat.
Pada gelaran ini pula, sejumlah koleksi cagar budaya Kutim dipamerkan. Benda-benda sejarah yang sebelumnya tersimpan di kantor dinas dan sekolah—mulai alat musik tradisi hingga peninggalan material masyarakat masa lampau—diperlihatkan kepada publik.
Menurut Padliansyah, langkah tersebut menjadi progres penting menuju lahirnya Museum Daerah Kutim.
“Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah daerah, kami menargetkan museum dapat diwujudkan dalam dua sampai tiga tahun ke depan,” ujarnya.
Festival ini menghadirkan lanskap sosial yang menarik. Anak-anak berlarian dengan lampu LED, remaja sibuk berswafoto, sementara para orang tua berdiri khidmat mengikuti alunan musik tradisi. Situasi ini memperlihatkan bahwa budaya bukan sekadar arsip, melainkan ruang perjumpaan lintas generasi.
Penyelenggara berharap festival ini dapat menjadi agenda tahunan dengan melibatkan lebih banyak komunitas seni, sekolah, dan pelaku ekonomi kreatif.
Di balik sorak penonton dan gemerlap cahaya panggung, perayaan ini meninggalkan kesan yang lebih dalam: budaya tidak hanya dipamerkan—tetapi dipraktikkan, dirayakan, dan dikuatkan kembali.
Sebab seperti kata Padliansyah, tradisi tidak hidup dari ingatan yang diam, melainkan dari yang terus dihidupkan.
(Adv/Diskominfo Kutim)




