KEMBARA TIMUR – Ada kegelisahan kecil yang sejak beberapa bulan terakhir mengemuka di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMDes) Kutai Timur (Kutim). Bukan soal anggaran yang kian gemuk, bukan pula soal administrasi desa yang semakin kompleks. Kepala DPMDes Kutim, Muhammad Basuni, menilai persoalan justru terletak pada cara desa memaknai pembangunan itu sendiri.
Selama bertahun-tahun, kata Basuni, keberhasilan desa kerap dirayakan dalam bentuk persentase serapan anggaran. Grafik naik dianggap sebagai tanda kemajuan. Padahal, tidak selalu begitu. “Kita selama ini mengukur hanya dari berapa besar penyerapan. Tetapi tidak pernah menimbang sejauh apa kinerja tercapai. Padahal menurut saya, yang penting itu justru kinerja,” ujarnya ketika ditemui di Sangatta.
Dalam pandangannya, pengelolaan desa selama ini seperti menjalankan perahu dengan panduan kompas yang kabur. Anggaran dihabiskan, laporan rapi, tapi dampak bagi warga tak selalu terasa. Ia memberi contoh sederhana: tidak semua target harus dibayar mahal. “Kalau dengan harga 1.000 sudah selesai, kenapa harus 2.000?” katanya. Efisiensi, menurut dia, adalah inti dari audit kinerja yang ingin diperkuat.
Basuni mendorong agar desa mulai membangun fondasi perencanaan yang lebih berbasis data. Desa tak cukup hanya menyiapkan proposal kegiatan setiap awal tahun. Ia ingin perencanaan benar-benar menaut pada visi Bupati dan rencana besar kabupaten, sehingga pembangunan tak lagi berjalan sendiri-sendiri.
Isu lain yang ia soroti adalah pelaporan kinerja desa. Selama ini, capaian desa yang masuk melalui Sistem Informasi Pembangunan Desa (SIPDS) berhenti sebagai laporan administratif. Basuni ingin laporan itu menjadi bagian dari “denyut resmi” pembangunan kabupaten. “Kami berharap kinerja desa bisa diakui sebagai bagian dari kinerja pemerintah daerah. Mudah-mudahan bisa dimasukkan ke dalam RPJM Kabupaten nanti,” ucapnya. (adv/Q)




