KEMBARA TIMUR – Di kantor Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kutai Timur (Kutim), peta rawan bencana tergantung di dinding seperti pengingat yang tidak pernah padam. Garis-garis merah menandai bantaran sungai, sementara blok kuning menunjukkan kawasan hutan yang rentan tersulut api. Di ruangan itu, Muhammad Naim merinci tantangan yang kini menjadi fokus lembaganya: kesiapsiagaan bukan lagi soal sering menggelar sosialisasi, tetapi memastikan struktur paling bawah memahami cara bekerja saat bencana datang tiba-tiba.
BPBD memang rutin mengadakan penyuluhan. Namun, Naim mengakui bahwa edukasi yang diberikan selama ini masih banyak berhenti pada pola ceramah—belum menyentuh keterampilan praktis warga dalam menghadapi situasi darurat. “Sosialisasi sudah sering. Terakhir kita lakukan saat patroli di daerah-daerah rawan,” ujar ia kala itu dikantornya belum lama ini. Fokusnya, kata Naim, berada di dua kawasan utama: bantaran sungai yang langganan banjir dan zona hutan yang rawan karhutla.
Patroli itu, selain mengingatkan warga soal langkah mitigasi, juga menjadi cara BPBD memahami perilaku masyarakat di zona rawan. Apakah mereka sudah tahu jalur evakuasi? Adakah titik yang butuh peringatan dini tambahan? Hal-hal seperti itu muncul dalam evaluasi harian tim.
Pelatihan khusus sebenarnya telah berjalan, tetapi pesertanya masih terbatas. Masyarakat umumnya hanya terlibat ketika simulasi besar digelar—biasanya setelah ada peningkatan risiko. “Pelatihan memang sudah ada, tetapi belum menyentuh masyarakat secara luas,” kata Naim.
Karena itu BPBD memilih mengubah arah. Penguatan kapasitas diarahkan ke kecamatan, unit pemerintahan yang disebut Naim sebagai “garda pertama” dalam respons bencana. Ide dasarnya sederhana: sebelum tim kabupaten turun, kecamatan harus mampu melakukan penanganan awal dan mengirimkan laporan cepat.
Naim menyebut kecamatan sebagai simpul penting. Mereka yang pertama melihat naiknya muka air. Mereka pula yang pertama mencium aroma gambut yang mulai terbakar. “Kalau terjadi bencana, mereka sudah harus paham apa yang harus dilakukan. Penanganan awal itu krusial,” ujarnya.
Rencana pelatihan baru sedang disusun. Isinya lebih teknis—- cara membaca peta cuaca, mengenali tanda-tanda karhutla, menangani evakuasi ringan, hingga pelaporan cepat ke pusat komando BPBD. Pendekatan ini, kata Naim, lebih realistis ketimbang terus berharap masyarakat mendapat pelatihan menyeluruh dalam waktu singkat.
Di tengah ancaman yang datang bergantian antara kemarau dan hujan lebat, BPBD Kutim memilih memperkuat struktur paling dekat dengan warga. Upaya kecil itu diharapkan menjadi penyangga sebelum bantuan besar tiba.(adv/Q)




