
SANGATTA, KEMBARA TIMUR – Langkah kaki para peserta terdengar pelan saat mereka mulai memasuki area Polder Ilham Maulana Sangatta. Hari masih pagi, matahari baru beranjak naik. Tak banyak suara- hanya obrolan ringan dan bunyi kantong plastik hitam yang dibentangkan atau diletakkan ke tanah. Di tangan mereka, tergenggam niat yang sederhana tapi tulus. Membersihkan lingkungan yang terus dipenuhi sampah, secepat tempat itu kembali dikunjungi.
Forum Komunikasi Generasi Muda Peduli Daerah (FORMIE) Kutai Timur (Kutim) menggelar kegiatan bersih-bersih di kawasan ini sebagai bentuk keterlibatan sosial yang tenang tapi konsisten. Tak ada panggung, tak ada protokol, hanya tindakan.
Polder Ilham Maulana bukanlah taman kota modern atau tempat wisata formal. Ia lebih seperti ruang terbuka bersama yang difungsikan warga untuk bersantai, berolahraga, atau membiarkan anak-anak bermain di sore hari. Kerap kali, komunitas-komunitas dan organisasi lokal juga memanfaatkannya untuk acara bersama.
Kawasan ini bukan tanpa perhatian. Beberapa organisasi masyarakat dan komunitas sudah sering melakukan aksi kebersihan. Namun karena polder ini menjadi titik berkumpul warga hampir setiap hari, tumpukan sampah baru selalu muncul dari minggu ke minggu.
Di tengah siklus itu, FORMIE Kutim memutuskan untuk ikut mengambil peran. Meski menyandang nama “generasi muda”, mayoritas anggotanya kini adalah masyarakat yang sudah berkeluarga. Tapi semangat kolektif untuk peduli tak memudar.
“Kami ingin memberi contoh kecil, bahwa ruang publik itu milik bersama dan layak dirawat bersama,” ujar Fitrah, S.I.Kom., Ketua FORMIE Kutim- dalam kegiatan yang berlangsung pada Minggu pagi (29/6/2025).
Kegiatan pagi itu dimulai sederhana. Para peserta menyebar, membawa kantong plastik besar berwarna hitam, lalu memungut sampah dari taman, jalan setapak, hingga di antara batu dan rumput liar. Bungkus makanan ringan, botol minuman, tisu, bahkan sisa-sisa plastik masih berserakan di berbagai titik.
Tak ada tim dokumentasi khusus, tak ada pengeras suara. Hanya semangat kolektif dan dorongan moral untuk menjaga ruang publik tetap layak dinikmati.
“Kami tahu ini bukan solusi besar. Tapi kalau semua warga ikut merasa memiliki, polder ini bisa jadi ruang publik yang nyaman lagi,” ujar Fitrah.
FORMIE tidak datang dengan semangat menyelamatkan. Mereka datang dengan prinsip sederhana: jika ruang ini digunakan bersama, maka merawatnya juga harus dilakukan bersama. Tidak cukup hanya satu kali aksi, tapi perlu konsistensi dan keterlibatan lintas kelompok.
Sekretaris FORMIE, Abu Hurairah menyebutkan, kegiatan ini juga sebagai cara memperbaiki hubungan kita dengan ruang kota. “Rasanya tidak adil kalau kita hanya datang untuk duduk dan selfie, tapi meninggalkan jejak sampah di belakang,” ujarnya.
Setelah lebih dari dua jam memunguti sampah dan membersihkan sudut-sudut kecil yang sering terlewat, para peserta FORMIE duduk beristirahat. Tidak ada pidato penutupan. Hanya sebotol air minum, obrolan ringan, dan kepuasan dalam diam- bahwa setidaknya pagi itu mereka melakukan sesuatu yang berdampak.
FORMIE Kutim berkomitmen untuk terus mengadakan kegiatan serupa di titik-titik ruang publik lainnya. Tidak untuk mencari sorotan, tapi untuk menjaga kebiasaan: bahwa ruang bersama adalah tanggung jawab bersama.
Dan pagi itu, di Polder Ilham Maulana, mereka membuktikan satu hal sederhana. Perubahan tak selalu butuh ramai-ramai- kadang cukup satu kantong sampah, satu langkah niat, dan satu kelompok yang bersedia bergerak lebih dulu.
Reporter: FJ
Editor: Marsya Que