Sidrap Masih Kutim, Bukan Bontang
Sertifikat Dibagikan, Status Kian Tegas; GEMAH Kutim Dukung Langkah Pemkab dan Dorong Pemerataan Pembangunan

Oleh Tim Redaksi | KembaraTimur.com
KEMBARA TIMUR – Dusun Sidrap, sebuah permukiman di Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, kini kembali jadi bahan perbincangan. Letaknya yang berada di perbatasan antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menjadikan kampung ini bak “anak tiri” dari dua daerah. Namun baru-baru ini, Pemkab Kutim mengambil langkah penting- menyerahkan 83 sertifikat tanah gratis kepada warga Sidrap. Langkah itu dinilai sebagai penegasan bahwa Sidrap masih dan tetap bagian sah dari Kutim.
Penyerahan sertifikat dilakukan langsung oleh Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman dan Wakil Bupati Mahyunadi serta dihadiri Ketua DPRD Kutim Jimmi beberapa hari lalu. Meski kegiatan itu tampak formal dan administratif, bagi warga Sidrap, barangkali momen ini lebih dari sekadar simbol hukum. Ini bisa dibilang bukti kehadiran negara.
Menurut Sekjen GEMAH Kutim, Surahman Thaib, penyerahan sertifikat adalah langkah awal yang penting. Namun, ia menekankan bahwa sertifikasi harus diikuti pembangunan infrastruktur dasar. “Jalan, air bersih, pendidikan, layanan kesehatan, dan rumah ibadah masih sangat kurang di sini,” katanya.
Posisi geografis Sidrap yang lebih dekat ke pusat Kota Bontang dibanding ke Sangatta, ibu kota Kutim, membuat sebagian warganya memilih mengurus KTP Bontang. Ini kemudian memicu wacana penggabungan wilayah dari sebagian pejabat di Bontang, sebuah isu yang kembali mencuat akhir-akhir ini.
Namun, GEMAH Kutim menilai penggunaan KTP Bontang bukan soal politik atau identitas, melainkan persoalan kepraktisan. “Orang ke Puskesmas atau sekolah lebih dekat ke Bontang, jadi ya mereka buat KTP sana. Tapi tanahnya tetap di Kutim, dan regulasi tidak berubah,” ujar Surahman.
Pernyataan itu diamini oleh Ketua Umum GEMAH Kutim, Adhy Achmad. Menurutnya, sertifikat tanah ini adalah bukti konkret bahwa pemerintah hadir di tapal batas. “Ini soal legitimasi. Ketika negara hadir dengan legalitas dan pembangunan, maka loyalitas warga tak akan berpaling,” ujarnya.
Dalam konteks hukum, Sholeh Abidin, kuasa hukum Pemkab Kutim dalam perkara Mahkamah Konstitusi, menjelaskan bahwa tidak ada putusan MK yang menyebut Kutim harus menghentikan pelayanan publik di Sidrap. Dalam putusan sela MK, tidak ada perintah penghentian layanan. Artinya, Kutim tetap sah menjalankan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik di sana.
Sholeh menilai wacana-wacana pengalihan wilayah yang dilontarkan sepihak justru berpotensi memicu ketidakpastian hukum dan membingungkan warga. “Ini bukan soal klaim, tapi soal administrasi negara,” tambahnya.
GEMAH Kutim kini mulai menggagas program yang lebih konkret. Mereka menjalin kerja sama dengan kelompok tani dan tokoh masyarakat di Martadinata untuk membangun model ekonomi desa yang kuat, khususnya di sektor pertanian dan perkebunan. Tujuannya bukan hanya menyejahterakan warga, tapi juga memperkuat kontrol wilayah secara sosial dan ekonomi.
“Kalau ekonomi kuat, kalau masyarakat merasa diperhatikan, maka tak akan ada celah bagi pihak mana pun untuk menarik-narik Sidrap ke arah lain,” kata .Adhy.
Sidrap adalah potret kecil dari banyak wilayah perbatasan administratif di Indonesia- wilayah yang seringkali “terlupakan” karena letaknya yang tidak strategis secara birokrasi. Namun warga Sidrap tidak menuntut yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin kepastian, pelayanan, dan akses yang setara seperti warga lain di Kutim.
Langkah Pemkab Kutim dengan membagikan sertifikat tanah patut diapresiasi. Tapi sebagaimana kata GEMAH Kutim, sertifikat hanyalah awal dari pekerjaan panjang menuju keadilan pembangunan.
“Dari desa hebat, kita wujudkan Kutai Timur hebat,” tutup Adhy Achmad.(*)