Sejarah, Budaya dan PariwistaSul-sel

La Sinrang, Panglima Perang Sawitto yang Ditakuti Belanda

KEMBARA TIMUR – Nama La Sinrang mungkin tak sepopuler Sultan Hasanuddin, tetapi keberaniannya dalam melawan kolonial Belanda menjadikannya salah satu pejuang tangguh dari Sulawesi Selatan. Panglima perang Kerajaan Sawitto ini dikenal karena kegigihannya mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan, hingga akhirnya harus tunduk pada tipu daya Belanda.

La Sinrang lahir pada 1856 dari keluarga kerajaan Sawitto, Pinrang. Ia adalah putra La Tamma Addatuang Sawitto dan I Raima. Sejak kecil, La Sinrang tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan ajaran kepemimpinan dan kedisiplinan. Pamannya, seorang bangsawan berpengaruh di Sawitto, turut membentuk karakternya menjadi pemimpin yang tegas dan berwibawa.

Sejak remaja, ia sudah menunjukkan jiwa keberanian. Salah satu hobinya yang dikenal luas adalah massaung manu, atau sabung ayam. Ayam kesayangannya memiliki ciri khas bulu putih dengan bintik merah di dada—jenis yang jarang dimiliki orang lain. Di kalangan masyarakat, kegemarannya ini menjadi simbol keberanian dan ketangguhannya.

Ketika Belanda memperluas kekuasaannya ke wilayah Sulawesi Selatan, La Sinrang menjadi garda terdepan perlawanan. Ia dikenal sebagai panglima perang yang memiliki senjata khas: tombak besar bernama La Salaga dan sebilah keris bernama JalloE. Dengan kedua senjata itu, ia memimpin pasukan Sawitto menghadapi penjajah dalam berbagai pertempuran.

Belanda kesulitan menaklukkan La Sinrang. Kekuatan dan strategi perangnya membuat mereka kewalahan. Namun, kolonial tak kehabisan akal. Dengan siasat licik, mereka menculik ayah dan istri La Sinrang, lalu mengancam akan menyiksa keduanya jika ia tidak menyerah. Demi menyelamatkan keluarganya, La Sinrang akhirnya menyerahkan diri.

Pahlawan Sawitto itu kemudian diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah. Bertahun-tahun dalam pembuangan, kesehatannya memburuk. Ketika akhirnya dipulangkan ke tanah kelahirannya, kondisinya sudah lemah. La Sinrang wafat pada 29 Oktober 1938 dan dimakamkan di Amassangeng, Pinrang.

Kini, nama La Sinrang abadi di Pinrang. Namanya digunakan untuk jalan, rumah sakit, dan gedung olahraga sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya. Meski sejarah tak banyak menyorotnya, bagi masyarakat Pinrang, La Sinrang tetaplah simbol perlawanan dan keberanian.

(Berbagai Sumber)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button