Diskominfo Kutim Luncurkan Program SIKAT untuk Menambal Kesenjangan Internet Sekolah

KEMBARA TIMUR – Masalah akses internet kembali menampakkan jurang ketimpangan di Kutai Timur (Kutim). Di tengah gencarnya transformasi digital sekolah, ratusan satuan pendidikan masih tertinggal lantaran layanan internet tak pernah benar-benar stabil. Banyak sekolah mengandalkan jaringan seluler yang sering putus-nyambung, sementara sebagian lain berhenti terhubung sejak kuota layanan gratis habis pada Maret lalu. Situasi itu membuat administrasi digital tersendat dan pelaksanaan ANBK berkali-kali terancam gagal.

Dari kondisi itulah Dinas Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian (Diskominfo Staper) Kutim merumuskan Program SIKAT—Strategi Internet Kutim Aman dan Terkelola. Program ini diperkenalkan resmi pada Rabu, 19 November 2025, sebagai jawaban atas stagnasi akses internet yang telah lama menghambat ruang kelas di daerah tersebut.

Kepala Diskominfo Staper Kutim, Ronny Bonar H. Siburian, menyebut SIKAT bukan sekadar paket layanan internet baru. Ia menyebutnya sebagai “instrumen pembenahan ekosistem digital sekolah.” Menurut dia, selama ini persoalan jaringan tidak hanya berhenti pada lemahnya sinyal. Ada persoalan tata kelola, keamanan digital, hingga absennya sistem kontrol pemakaian yang membuat layanan kerap kedodoran.

“Program SIKAT bukan hanya soal menyediakan koneksi. Ini soal membangun sistem yang berkelanjutan—akses merata, aman, dan dapat dikelola dengan benar,” ujar Ronny.

Data Diskominfo menunjukkan kontras yang cukup tajam: dari 694 sekolah di 18 korwil pendidikan, hanya 191 yang pernah memperoleh layanan internet gratis. Itu pun berhenti sejak Maret 2025 akibat kuota habis. Dampaknya langsung terasa—platform administrasi tidak bisa diakses, guru kesulitan mengambil bahan ajar, hingga ANBK beberapa kali tertunda.

Paparan teknis disampaikan Kabid Infrastruktur TIK, Sulisman. Ia membeberkan bahwa sebagian sekolah bahkan terpaksa meminjam jaringan dari perangkat pribadi guru. “Sekolah yang tak punya internet praktis tersingkir dari ekosistem pembelajaran digital,” kata Sulisman.

Lewat SIKAT, Diskominfo mencoba menutup celah itu dengan pendekatan yang lebih tertata. Program ini dipecah menjadi lima komponen utama:

  1. Dashboard monitoring terpusat yang memotret kondisi jaringan sekolah secara real-time.
  2. Manajemen bandwidth berbasis prioritas agar penggunaan data fokus pada aktivitas belajar.
  3. Content filtering dengan sistem MikroTik untuk memblokir konten berisiko.
  4. Autentikasi pengguna—guru dan siswa—agar pemakaian jaringan lebih terkontrol.
  5. Peta digital akses sekolah untuk memudahkan analisis intervensi dan rencana penguatan jaringan.

Diskominfo berharap perangkat ini menjadi fondasi pemerataan layanan digital. Pemerintah daerah pun ikut menegaskan bahwa internet bukan lagi fasilitas tambahan bagi sekolah, melainkan kebutuhan dasar seperti listrik dan air.

“Dengan SIKAT, kami ingin memastikan tak ada lagi sekolah yang berjalan tanpa internet. Kesenjangan itu harus diakhiri,” ujar Ronny Bonar. (adv)

Exit mobile version