KEMBARA TIMUR – Keluhan warga terhadap debu beterbangan di sejumlah ruas jalan Kutai Timur (Kutim) kian nyaring. Setiap hari, terutama menjelang jam sibuk, iring-iringan truk pengangkut tanah dan material tambang melintas tanpa penutup. Debu menebal di udara, menempel di rumah, merangsek ke warung, hingga mengganggu jarak pandang pengendara motor. Namun sejak lama, masalah yang dianggap sepele ini tak kunjung menemukan pegangan hukum yang tegas.
Di tengah tekanan publik, Dinas Perhubungan Kutim kembali menaruh perhatian serius pada persoalan ini. Kepala Dishub Kutim, Poniso Suryo Renggono, menyebut kekosongan regulasi sebagai salah satu penyebab mengapa pelanggaran terus berulang tanpa konsekuensi.
“Kalau hanya imbauan, itu tidak memberi efek jera. Besok bisa diulang lagi,” ujar Poniso, awal pekan ini.
Poniso mengatakan, keluhan serupa sudah berlangsung bertahun-tahun. Debu yang diembuskan angin tak hanya mengotori permukiman, tapi juga membahayakan pengguna jalan, terutama pengendara motor yang kerap kehilangan pandangan akibat semburan debu mendadak.
Poniso memberi contoh kondisi di Bukit Pelangi, kawasan perkantoran Pemerintah Kutai Timur. Ia sendiri, katanya, merasakan langsung dampak debu tersebut setiap kali melintas. “Sampai kantor itu langsung penuh debu,” ujarnya.
Dishub kini sedang menelusuri apakah sudah ada Perda atau Peraturan Bupati yang dapat dijadikan dasar penindakan. Jika tidak ada, mereka akan mengusulkan regulasi baru agar aparat memiliki landasan hukum yang kuat.
Menurut Poniso, pengawasan dan penegakan aturan tidak bisa lagi bertumpu pada teguran lisan. Ke depan, Dishub berencana meningkatkan koordinasi dengan Satpol PP dan kepolisian agar tindakan yang diberikan memiliki daya paksa.
“Kalau ini sudah menjadi keluhan masyarakat, maka regulasinya harus kita bentuk. Perda itu nanti menjadi dasar aparat untuk bertindak,” kata Poniso.(adv)
