Swargabara dan Jejak Panjang Jagung yang Tak Lekang Program

KEMBARA TIMUR – Di Desa Swargabara, Sangatta Utara, jagung tidak pernah sekadar komoditas musiman. Jauh sebelum pemerintah ramai menabuh genderang ketahanan pangan, para petani di desa itu telah menanam jagung sebagai warisan lama yang terus dirawat. Tradisi yang, menurut Kepala Desa Wahyuddin Usman, tak mudah goyah oleh program apa pun yang datang bergantian.

Di ruang kerjanya yang sederhana, Wahyu – begitu ia disapa, mengenang geliat jagung di desanya bukan lahir dari instruksi program, melainkan dari kebiasaan berpuluh tahun yang dipertahankan oleh petani setempat. “Budidaya jagung ini sudah ada sebelum istilah ketahanan pangan itu mengemuka. Bukan karena Asta Cita atau program apa pun,” ujarnya saat ditemui da kantornya awal pekan in.

Jejaknya bisa dilihat setiap akhir tahun. Di simpang Kampung Tator, lokasi yang akrab di telinga warga Sangatta, barisan jagung muda tersusun rapi di pinggir jalan. Para petani membawa hasil panen mereka, menjualnya sambil berbincang dengan pembeli yang datang silih berganti. “Jagung yang dijual itu dari kebun-kebun warga Swargabara. Sudah lama begitu tradisinya,” kata Wahyu.

Karena itu, ia tidak gusar soal kemungkinan petani beralih ke komoditas lain jika ada program baru yang mengiming-imingi keuntungan berbeda. Baginya, jagung sudah kadung menjadi identitas Swargabara. “Petani di sini sangat antusias merawat jagung. Sepertinya tidak akan ada perubahan komoditas. Mereka tetap bertahan,” tuturnya.

Di tengah riuh program ketahanan pangan nasional, Swargabara memilih tetap berjalan dengan ritmenya sendiri, pelan, konsisten, dan setia pada jagung yang telah menemani mereka sejak sebelum program-program modern ini lahir.(advQ).

Exit mobile version