Kesbangpol Kutim Bahas Kerawanan Sosial, Soroti Ancaman Ideologi Radikal

Kajian BRIDA ungkap dinamika sosial, tekanan ekonomi, hingga potensi tumbuhnya generasi anti-NKRI

SANGATTA, KEMBARA TIMUR – Dari luar, acara itu tampak seperti seminar teknokratik biasa: pembukaan, sambutan pejabat, presentasi data. Tapi di dalam Ruang Damar, Gedung Serba Guna (GSG) Bukit Pelangi, Kamis pagi, 3 Juli 2025, pertemuan yang diinisiasi oleh Bidang Kewaspadaan Nasional dan Penanganan Konflik Badan Kesbangpol Kutai Timur (Kutim) itu menyimpan pembahasan yang lebih dalam: menggali akar-akar konflik sosial di daerah ini dan menyusun indeks untuk mendeteksinya sejak dini.

Kegiatan ini merupakan program murni dari Kesbangpol Kutim, didukung oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA). Selama beberapa waktu, mereka menyusun dokumen teknis yang menyatukan data sosial, budaya, dan ekonomi dengan tujuan utama: memetakan potensi kerawanan sosial di Kutim secara komprehensif.

“Kami tidak ingin bekerja berdasarkan insting saja. Indeks ini akan menjadi alat ukur resmi dan teknis bagi Pemkab Kutim dalam menilai dan menangani potensi konflik sosial,” kata Kepala Kesbangpol Kutim, Tedjo Yuwono, saat membuka seminar.

Dokumen tersebut berisi serangkaian variabel, indikator, hingga tolak ukur yang dikembangkan untuk membaca dinamika kerawanan sosial di lapangan. Beberapa indikator yang menjadi perhatian antara lain: tekanan ekonomi, ketimpangan pembangunan, dan catatan konflik yang pernah terjadi sebelumnya.

Muhammad Yusufsyah, Kepala Bidang Kewaspadaan Nasional Kesbangpol Kutim menyatakan, indeks yang dirancang tak hanya berfungsi sebagai alarm sosial, tapi juga akan menjadi dasar penetapan target kerja pemerintah daerah, serta alat ukur bagi evaluasi kinerja lintas sektor.

“Kami akan gunakan ini untuk identifikasi daerah rawan secara spasial. Jadi bukan cuma tahu wilayah mana yang rawan, tapi juga kenapa dan bagaimana harus meresponsnya,” ujar Yusufsyah.

Dua narasumber utama, Dadang Lesmana dan Bagus Rai Wibowo, turut memaparkan kerangka teori dan implementasi praktis dari dokumen ini. Dalam sesi mereka, ditegaskan bahwa indikator sosial- sekalipun berbasis angka- tidak bisa dibaca secara kering dan parsial.

“Indikator bisa menunjukkan gejala, tapi tak boleh ditafsirkan setengah. Harus dilihat dengan kacamata sosial-politik yang jernih,” kata Bagus.

Namun yang menarik perhatian muncul bukan dari tabel atau grafik. Dalam sesi diskusi terbuka, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) menyuarakan kekhawatiran yang tak banyak disentuh dalam laporan formal: kerawanan ideologi. Meraka menekankan pentingnya menyertakan variabel ideologis dalam pemetaan konflik, bukan hanya karena munculnya kelompok radikal kanan-kiri, tapi juga karena ruang digital dan sosial hari ini sangat rentan disusupi narasi anti-kebangsaan.

Hadir dalam seminar tersebut berbagai perwakilan lintas sektor: dari TNI dan Polri, Bappeda, Satpol PP, hingga tokoh-tokoh dari FKUB, FPK, dan FKDM. Dukungan lintas lembaga ini diharapkan menjadi awal dari pembentukan strategi kolaboratif pencegahan konflik.

Namun demikian, masih terdapat jarak antara “kajian” dan “aksi”. Beberapa peserta menyoroti perlunya tindak lanjut yang lebih konkret pasca penyusunan indeks, misalnya pelibatan aktif aparatur desa, Babinsa, dan tokoh lokal dalam pemantauan real-time potensi konflik.

“Kita sudah punya peta, tapi jangan lupa kita juga butuh kaki yang jalan,” ucap seorang peserta dari unsur keamanan.

Acara yang berlangsung sejak pukul 09.30 hingga 12.00 WITA itu ditutup dengan kesepakatan untuk membawa hasil kajian ini ke tataran kebijakan. Kesbangpol menyatakan akan terus memperbaiki dan menyempurnakan dokumen, serta mendorong penggunaannya di lintas sektor pemerintahan daerah.

Bagi sebagian pihak, acara ini mungkin sekadar bagian dari rutinitas birokrasi. Tapi di tengah gempuran konflik global, migrasi ideologi, dan makin lebarnya jurang ekonomi, indeks kerawanan sosial berbasis data bisa menjadi benteng awal menjaga stabilitas lokal.

“Menjaga ketertiban hari ini tidak bisa hanya mengandalkan aparat. Kita harus tahu akar, peta, dan narasinya. Dan itulah yang sedang kita bangun,” kata Tedjo menutup acara.

Peliput: NEApriliyana
Editor: Marsya Que

Exit mobile version