SANGATTA, KEMBARA TIMUR — Angin perubahan tak selalu membawa damai. Di tubuh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kutai Timur, riak-riak lama kembali bergejolak. Tahun 2025 menjadi saksi terulangnya dualisme kepemimpinan, saat dua sosok pemuda—Andi Zulfian N dan Avivurrahman Al-Ghazali—sama-sama mengklaim kursi Ketua DPD KNPI Kutim.
Dua Musyawarah Daerah (Musda) berbeda menjadi panggung lahirnya dua pemimpin. Musda pertama digelar pada 24 Februari 2025, bertempat di Ruang Meranti, Kantor Bupati Kutim. Forum yang dihadiri 79 Organisasi Kepemudaan (OKP) ini memilih Avivurrahman secara aklamasi. Hadir pula empat Ketua DPD KNPI Kaltim sebagai saksi sekaligus legitimasi.
“Musda adalah forum demokratis yang memberi kesempatan bagi siapa pun untuk berkompetisi. KNPI harus jadi laboratorium kader bagi pemuda Kutim,” kata Abi – sapaan akrab Avivurrahman dalam pernyataan resminya.
Abi menekankan pentingnya bersinergi dengan pemerintah, khususnya mendukung visi besar Kutim Hebat. Ia juga menyebut absennya beberapa OKP dalam Musda sebagai bagian dari dinamika organisasi.
Namun, belum genap empat bulan berselang, Musda tandingan digelar. Kali ini pada 7 Juni 2025 di Hotel Royal Victoria Sangatta, mengusung tema “Peta Jalan Baru Pemuda Kutim sebagai Mitra Kritis Pemerintah.” Forum tersebut juga menetapkan Andi Zulfian N sebagai ketua, lewat aklamasi.
Berbeda dengan Abi, Andi menyuarakan semangat oposisi konstruktif. Ia menyatakan bahwa pemuda tidak boleh hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
“Pemuda bukan alat, bukan objek, tapi subjek yang sejajar dengan eksekutif dan legislatif. Kita adalah anti-tesis dari kebijakan yang tidak pro-rakyat,” tegas Andi.
Andi menambahkan, KNPI mesti keluar dari romantisme simbolik dan tampil dengan gagasan substantif, yang berakar pada kebutuhan rakyat.
Fenomena dualisme bukan hal baru bagi KNPI—baik secara nasional maupun di tingkat daerah. Di Kutim sendiri, catatan sejarah menunjukkan hal serupa pernah terjadi pada periode sebelumnya, antara kubu Lukas Himuq–Aleks Bajo dan Felly Lung–Kahiruddin.
Kini, sejarah seolah mengulang diri. Abi mengusung pendekatan rekonsiliatif dan kolaboratif, sementara Andi memposisikan KNPI sebagai mitra kritis yang tak sungkan bersuara lantang. Masing-masing punya pendukung, masing-masing merasa sah.
Namun secara hukum organisasi (de jure), publik masih menanti kepastian dari DPD KNPI Provinsi Kalimantan Timur, mengenai siapa yang sah secara administratif dan struktural.
Di balik perbedaan arah dan gaya kepemimpinan, satu harapan tetap menggema: penyatuan. Banyak pihak mengkhawatirkan dampak panjang dari perpecahan ini, terutama pada fungsi strategis pemuda dalam pembangunan daerah.
Jika dibiarkan, KNPI bisa kehilangan relevansi. Padahal, pemuda adalah aset politik, sosial, dan budaya. Ketika mereka terpecah oleh ego, afiliasi, dan kepentingan, maka idealisme kebangsaan dan gerakan progresif pun bisa luruh perlahan.
Kini, di pundak dua pemuda itu terletak beban yang sama beratnya: bukan siapa yang menang, tetapi siapa yang mampu merangkul dan membangun.(Marsya Que)