KUTAI TIMUR, KEMBARA TIMUR – Federasi Pertambangan dan Energi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (FPE-SBSI) Kutai Timur (Kutim) menggelar pelatihan Persiapan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di tingkat perusahaan, di Hotel Kubis Borneo, Sangatta, Senin (22/4/2025).
Pelatihan ini digelar sebagai respons atas kebutuhan mendesak untuk memperkuat kapasitas serikat pekerja dalam menghadapi dinamika hubungan industrial yang semakin kompleks. Di tengah gelombang transisi energi dari sumber fosil menuju energi terbarukan, sektor pertambangan dan energi menghadapi tantangan besar, mulai dari disrupsi tenaga kerja hingga ketidakpastian regulasi. Sebagai daerah yang menggantungkan perekonomiannya pada industri berbasis batu bara dan energi fosil, Kutim menjadi salah satu wilayah yang sangat terdampak oleh perubahan ini.
Dalam konteks tersebut, keberadaan PKB yang progresif dan adaptif dinilai penting untuk menjamin perlindungan hak dan masa depan pekerja.
Untuk itu, pelatihan ini tidak hanya membahas aspek teknis penyusunan PKB, tetapi juga menyentuh isu-isu strategis terkait transisi energi dan dampaknya terhadap buruh.
Acara dibuka oleh Ketua Umum DPP KBSI, Riswan Lubis, yang menegaskan bahwa PKB idealnya mampu memberikan perlindungan dan manfaat lebih bagi buruh ketimbang sekadar mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang.
“PKB harus lebih bagus daripada UU. Karena ini hasil kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja,” kata Riswan.
Sementara itu, Ketua DPC FPE-SBSI Kutim, Arham, mengatakan pelatihan ini bertujuan memperkuat pemahaman pengurus serikat dalam menyusun PKB yang responsif terhadap perubahan zaman, termasuk perubahan industri akibat pergeseran kebijakan energi global.
Pemateri utama, Nikasih Ginting, mengulas pentingnya merancang PKB sebagai alat perjuangan yang konkret. Menurutnya, selain menyangkut soal upah dan kesejahteraan, PKB juga harus mampu mengantisipasi dinamika industri, termasuk ancaman disrupsi tenaga kerja akibat transisi energi.
“Dalam praktik hubungan industrial, PKB bisa saja mengatur ketentuan yang lebih baik dari UU, asalkan tidak bertentangan atau merugikan hak normatif pekerja,” ujarnya.
Dalam sesi terpisah, Nikasih juga memaparkan bahwa transisi energi akan menjadi tantangan besar bagi pekerja di sektor pertambangan dan energi. Oleh karena itu, serikat buruh harus menyiapkan strategi adaptif agar hak dan masa depan pekerja tetap terlindungi.
“Serikat pekerja harus masuk dalam diskusi transisi energi agar prosesnya adil (just transition). Jangan sampai buruh hanya jadi korban dari perubahan kebijakan,” tegasnya.(*)