Meluruskan Perspektif: Al-Qur’an, Islam, dan Sejarah Kritis

Stabilitas Teks Al-Qur’an dalam Lintasan Sejarah

Belakangan ini, muncul kembali tulisan yang mencoba membedah Al-Qur’an dan sejarah awal Islam melalui pendekatan sejarah kritis, antropologi, dan sosiologi agama. Di satu sisi, pendekatan akademik memang penting untuk memperkaya pemahaman. Namun, ketika pendekatan tersebut menafikan keyakinan umat dan dibangun di atas asumsi sekuler yang spekulatif, perlu kiranya diberikan klarifikasi yang jernih dan ilmiah.

1. Al-Qur’an: Wahyu Ilahi, Bukan Produk Sejarah

Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan dijaga keasliannya oleh Allah sendiri, sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Hijr: 9:

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya.”

Proses kodifikasi yang dilakukan di masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan bukanlah penyusunan dari nol, tetapi merupakan pengumpulan dan standarisasi dari wahyu yang telah dihafal ribuan sahabat dan dicatat sejak masa Rasulullah SAW. Argumen yang menyebut bahwa Al-Qur’an baru mencapai bentuk final di masa Abdul Malik bin Marwan tidak didukung oleh bukti historis yang kuat, bahkan bertentangan dengan temuan manuskrip kuno seperti Mushaf Topkapi dan Mushaf Samarkand dari abad pertama Hijriah.

2. Bacaan Al-Qur’an dan Tuduhan Revisi

Perbedaan qira’at atau variasi bacaan dalam Al-Qur’an bukanlah bentuk revisi, melainkan bagian dari kekayaan linguistik yang diakui secara mutawatir. Tuduhan bahwa Al-Hajjaj bin Yusuf mengubah isi Al-Qur’an tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Penemuan seperti Manuskrip San‘a yang sering dijadikan bukti “versi berbeda” Al-Qur’an, justru memperkuat keasliannya karena perbedaannya sangat minor dan tidak menyentuh substansi wahyu.

3. Islam: Bukan Agama Baru di Abad ke-7

Islam tidak muncul secara tiba-tiba sebagai sistem baru di masa Dinasti Umayyah, sebagaimana dituduhkan. Islam adalah lanjutan dari ajaran tauhid para nabi sebelumnya, sebagaimana dijelaskan dalam QS Ali Imran: 19:

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.”

Bahwa sumber non-Muslim awal seperti kronik Bizantium atau prasasti tertentu tidak menyebut nama “Islam” secara eksplisit bukanlah bukti bahwa Islam belum ada, melainkan cerminan keterbatasan pengetahuan pihak luar terhadap perkembangan internal umat Islam saat itu.

4. Ilmu Sosial Tak Bisa Menjelaskan Wahyu Secara Utuh

Pendekatan antropologi dan sosiologi agama seperti yang dikemukakan Durkheim dan Foucault menganggap agama sebagai produk sosial. Pendekatan ini tidak bisa sepenuhnya diterima dalam memahami wahyu, karena mengabaikan dimensi transendental. Agama bukan hanya konstruksi masyarakat, tapi juga hasil petunjuk Ilahi kepada manusia.

5. Harus Objektif dan Adil dalam Membaca Sejarah

Pendekatan sejarah kritis harus tetap obyektif, bukan digunakan untuk meragukan keimanan umat. Klaim bahwa Islam baru muncul di akhir abad ke-7 atau bahwa Al-Qur’an mengalami proses revisi bertahap adalah narasi yang dibangun dari asumsi sekuler dan sering kali tidak didukung oleh bukti primer yang sahih.

Sebagai umat Islam, kita tidak anti kajian ilmiah. Tapi kita juga punya hak untuk mempertahankan keyakinan dengan dalil-dalil yang valid, bukan asumsi akademik yang menegasikan wahyu. Adalah tidak adil jika teks suci yang diyakini sebagai firman Tuhan, diperlakukan hanya sebagai artefak sejarah tanpa mengindahkan otoritas internalnya.

Exit mobile version